Monday, September 29, 2014
Sunday, September 28, 2014
PENGARUH C/N RATIO DALAM BUDIDAYA LELE
Factor yang mempengaruhi system bioflok adalah N/P rasio dan C/N rasio.
N/P rasio dan C/N rasio harus diatas 20. Semakin besar N/P rasio dan C/N
rasio maka flok yang terbentuk akan semakin baik. Untuk mengatur N/P
rasio jalan terbaik adalah memperbesar N atau memperkecil P, untuk memperbesar
N dilingkungan KOLAM tidak mungkin dilakukan karena menambah ammonia
dalam KOLAM akan membahayakan LELE, jalan terbaik adalah memperkecil P
dengan cara mengikat phosphate. Sedangkan untuk mengatur C/N rasio
dilakukan dengan cara memperbesar C dengan penambahan unsure karbon organic,
misalnya molasses. Didalam pakan itu sendiri sebenarnya sudah ada unsure
C yaitu karbohidrat dan lemak, namun rasionya tidak mencukupi untuk
mencapai C/N rasio diatas 20.
MENGENAL LELE JENIS MASAMO
Lele Masamo, sebagian menduga nama tersebut adalah akronim dari PT
Matahari Sakti Mojokerto. Tetapi Fauzul Mubin, Technical Support and
Hatchery Manager PT Matahari Sakti membantah itu. “Bukan. Itu hanya nama
yang mengandung hoky dan nama yang bagus saja,” terangnya sambil
tersenyum lebar.
Lele Masamo produk dari PT Matahari Sakti (MS) Mojokerto, Jawa Timur ini memiliki keunggulan ketimbang jenis lain yang sudah beredar lebih dahulu. Saking santernya kabar tersebut, sampai-sampai belakangan muncul pihak-pihak yang mengaku-ngaku menyediakan induk dan benih lele Masamo. Padahal, hanya PT MS yang mendistribusikannya terbatas di jaringan mitra internal perusahaan mereka.
Mubin menyatakan, lele Masamo yang beredar sekarang masih generasi pertama, dan direncanakan November 2013 ini akan dirilis generasi kedua.
Lele Afrika, papar Mubin, terkenal kecepatan pertumbuhan dan ketahanan tubuh yang tinggi. Sedangkan lele Afrika yang telah mengalami kohabitasi domestik di Asia/Asia Tenggara memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan dan tahan terhadap penyakit lokal. Selain itu ada juga strain yang memiliki produktivitas telur tinggi (spawning rate) dan ada yang leboh efisien pakan.
Dipastikan Mubin, benih sebar yang diperuntukkan bagi budidaya pembesaran konsumsi – atau yang umum disebut Final Stock (FS) — dari breeding Masamo, memiliki sifat bertubuh besar, rakus makan tapi tetap efisien, keseragaman tinggi, stress tolerance tinggi, ketahanan penyakit tinggi, dan sifat kanibal rendah. Untuk sifat induk atau Parent Stock (PS) ditambah dengan spawning rate yang tinggi.
Hatchery (penetasan) Masamo di Pasuruan, sebut Mubin, mampu memproduksi induk PS Masamo 6.000 – 10.000 ekor per tahun. PS Masamo dilepas dengan harga Rp 100.000 – Rp 300.000 per ekor, tergantung jauh-dekatnya lokasi pembeli. Mubin mengakui harga calon induk lele Masamo 2 – 4 kali lebih mahal dibanding induk lele jenis Sangkuriang atau Phyton.
Sementara Final Stock, dikatakan Maylana Nurrma Diyanto, Technical Support and Marketing Supervisor PT Matahari Sakti, permintaan yang masuk ke hatchery PT MS mencapai 5 juta ekor per bulan. Pada April 2013, imbuh dia, benih size (ukuran) 4 cm diperdagangkan seharga Rp 70 per-ekornya, dan Rp 90 untuk yang ukuran 5 cm.
Lebih detil, Danang Setianto menggambarkan, terdapat bintik seperti tahi lalat di sekujur tubuh masamo yang berukuran besar, memiliki tonjolan di tengkuk kepala, serta bentuk kepala lebih runcing. “Pada induk, tonjolan di tengkuk terlihat nyata. Sangat berbeda dengan induk jenis lain, sehingga jenis lele Masamo tak mungkin bisa dipalsukan,” ungkapnya.
Tetapi saat masih berukuran benih, secara fisik lele Masamo susah dibedakan dengan benih lele varietas lain. “Bedanya pada sifat. Masamo lebih agresif dan nafsu makan lebih kuat. Sehingga jika manajemen pakan tidak bagus bisa berakibat pada kanibalisme,” papar Danang. Karena itu Danang hanya memasarkan benih Masamo kepada pembudidaya pembesaran yang serius, bukan yang tradisional.
Lele Masamo produk dari PT Matahari Sakti (MS) Mojokerto, Jawa Timur ini memiliki keunggulan ketimbang jenis lain yang sudah beredar lebih dahulu. Saking santernya kabar tersebut, sampai-sampai belakangan muncul pihak-pihak yang mengaku-ngaku menyediakan induk dan benih lele Masamo. Padahal, hanya PT MS yang mendistribusikannya terbatas di jaringan mitra internal perusahaan mereka.
Mubin menyatakan, lele Masamo yang beredar sekarang masih generasi pertama, dan direncanakan November 2013 ini akan dirilis generasi kedua.
GENETIK MASAMO
Dijelaskan Mubin, lele Masamo merupakan hasil pengumpulan sifat berbagai plasma nutfah lele dari beberapa negara. Antara lain, lele asli Afrika, lele Afrika yang diadaptasi di Asia, Clarias macrocephalus/bighead catfish yang merupakan lele Afrika dan di kohabitasi di Thailand, dan lele dumbo (brown catfish). “Total ada 7 strain lele,” ungkapnya.Lele Afrika, papar Mubin, terkenal kecepatan pertumbuhan dan ketahanan tubuh yang tinggi. Sedangkan lele Afrika yang telah mengalami kohabitasi domestik di Asia/Asia Tenggara memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan dan tahan terhadap penyakit lokal. Selain itu ada juga strain yang memiliki produktivitas telur tinggi (spawning rate) dan ada yang leboh efisien pakan.
Dipastikan Mubin, benih sebar yang diperuntukkan bagi budidaya pembesaran konsumsi – atau yang umum disebut Final Stock (FS) — dari breeding Masamo, memiliki sifat bertubuh besar, rakus makan tapi tetap efisien, keseragaman tinggi, stress tolerance tinggi, ketahanan penyakit tinggi, dan sifat kanibal rendah. Untuk sifat induk atau Parent Stock (PS) ditambah dengan spawning rate yang tinggi.
Hatchery (penetasan) Masamo di Pasuruan, sebut Mubin, mampu memproduksi induk PS Masamo 6.000 – 10.000 ekor per tahun. PS Masamo dilepas dengan harga Rp 100.000 – Rp 300.000 per ekor, tergantung jauh-dekatnya lokasi pembeli. Mubin mengakui harga calon induk lele Masamo 2 – 4 kali lebih mahal dibanding induk lele jenis Sangkuriang atau Phyton.
Sementara Final Stock, dikatakan Maylana Nurrma Diyanto, Technical Support and Marketing Supervisor PT Matahari Sakti, permintaan yang masuk ke hatchery PT MS mencapai 5 juta ekor per bulan. Pada April 2013, imbuh dia, benih size (ukuran) 4 cm diperdagangkan seharga Rp 70 per-ekornya, dan Rp 90 untuk yang ukuran 5 cm.
CIRI DAN SIFAT
Lele Masamo memiliki ciri khas fisik cukup berbeda dengan lele Dumbo, Sangkuriang dan Phyton yang lebih dulu beredar. Dijelaskan Maylana, kepala lele Masamo lebih lonjong, menyerupai sepatu pantofel model lama. Sirip (patil) lebih tajam, badan lebih panjang dan berwarna kehitaman. Ketika stres, muncul warna keputih-putihan atau keabu-abuan.Lebih detil, Danang Setianto menggambarkan, terdapat bintik seperti tahi lalat di sekujur tubuh masamo yang berukuran besar, memiliki tonjolan di tengkuk kepala, serta bentuk kepala lebih runcing. “Pada induk, tonjolan di tengkuk terlihat nyata. Sangat berbeda dengan induk jenis lain, sehingga jenis lele Masamo tak mungkin bisa dipalsukan,” ungkapnya.
Tetapi saat masih berukuran benih, secara fisik lele Masamo susah dibedakan dengan benih lele varietas lain. “Bedanya pada sifat. Masamo lebih agresif dan nafsu makan lebih kuat. Sehingga jika manajemen pakan tidak bagus bisa berakibat pada kanibalisme,” papar Danang. Karena itu Danang hanya memasarkan benih Masamo kepada pembudidaya pembesaran yang serius, bukan yang tradisional.
SIFAT KANIBAL
Mubin mengistilahkan era kanibalisme tinggi pada masamo sudah lewat. “Dulu, waktu generasi awal sekali, sebelum yang generasi I itu memang iya. Pada generasi 1 sudah jauh berkurang sifat kanibal itu,” tegasnya. Mubin telah melakukan uji keseragaman ukuran anakan di hari ke-40 pemeliharaan. Hasilnya, keseragaman akhir normal. Keseragaman akan njomplang jika kanibalisme tinggi, karena ada lele dominan yang memakan lele lain.KEUNGGULAN LELE SANGKURIANG
Lele Sangkuriang tergolong jenis ikan omnivora, seperti halnya sifat
biologi lele dumbo terdahulu. Di alam ataupun lingkungan budidaya, lele
sangkuriang dapat memanfaatkan plankton, cacing, insekta, udang-udang
kecil dan mollusca sebagai makanannya. Keunggulan dari lele sangkuriang
ini diantaranya dapat dipijahkan sepanjang tahun, fekunditas telur yang
tinggi, dapat hidup pada kondisi air yang marjinal dan efisiensi
terhadap pakan yang tinggi.
Menurut
Anonimus (2005) secara umum morfologi ikan lele sangkuriang tidak
memiliki banyak perbedaan dengan lele dumbo yang selama ini banyak
dibudidayakan. Hal tersebut dikarenakan lele sangkuriang sendiri
merupakan hasil silang dari induk lele dumbo. Tubuh ikan lele
sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit licin, berlendir,
dan tidak bersisik. Bentuk kepala menggepeng (depress), dengan mulut
yang relatif lebar, mempunyai empat pasang sungut. Lele Sangkuriang
memiliki tiga sirip tunggal, yakni sirip punggung, sirip ekor, dan sirip
dubur. Sementara itu, sirip yang yang berpasangan ada dua yakni sirip
dada dan sirip perut. Pada sirip dada (pina thoracalis) dijumpai
sepasang patil atau duri keras yang dapat digunakan untuk mempertahankan
diri dan kadang-kadang dapat dipakai untuk berjalan dipermukaan tanah
atau pematang. Pada bagian atas ruangan rongga insang terdapat alat
pernapasan tambahan (organ arborescent), bentuknya seperti batang pohon
yang penuh dengan kapiler-kapiler darah.
Lele
sangkuriang dapat hidup di lingkungan yang kualitas airnya sangat
jelek. Kualitas air yang baik untuk pertumbuhan yaitu kandungan O2 6
ppm, CO2 kurang dari 12 ppm, suhu (24 – 26) o C, pH (6 – 7), NH3 kurang
dari 1 ppm dan daya tembus matahari ke dalam air maksimum 30 cm (Lukito,
2002).
Ikan lele dikenal aktif pada malam hari (nokturnal). Pada
siang hari, ikan lele lebih suka berdiam didalam lubang atau tempat yang
tenang dan aliran air tidak terlalu deras. Ikan lele mempunyai
kebiasaan mengaduk-aduk lumpur dasar untuk mencari binatang-binatang
kecil (bentos) yang terletak di dasar perairan.
AERASI DALAM BUDIDAYA LELE
Pengaruh Aerasi Terhadap Kualitas Air Kolam dan Produksi Ikan Lele (Ictalurus)
Mevel dan Boyd (1992) melaporkan bahwa ikan lele (Ictalurus punctatus) telah diproduksi di Auburn, Alabama, dalam kolam kontrol dan kolam yang diberi aerasi udara-terdifusi kontinyu pada tingkat 0,9, 1,8 dan 3,6 kiloWatt/hektar. Konsentrasi DO (Dissolved Oxygen = oksigen terlarut) rata-ratanya sering di bawah 3 mg/liter di kolam kontrol dan pada dua perlakuan aerasi rendah (0,9 dan 1,8 kW/ha). Konsentrasi DO rata-rata tidak pernah jatuh di bawah 3 mg/liter pada perlakuan tingkat aerasi yang tinggi (3,6 kW/ha). Aerasi udara-terdifusi pada semua tingkat bisa menghilangkan stratifikasi DO vertikal di kolam dan mengurangi kisaran nilai-nilai DO harian minimum dan maksimum. Konsentrasi klorofil-a, kekeruhan, karbon dioksida, dan total fosfor, pH serta daya pandang Secchi disk tidak berbeda antar perlakuan. Konsentrasi total amonia nitrogen dan nitrit-nitrogen adalah lebih tinggi di kolam yang diaerasi daripada di kolam kontrol. Nilai produksi neto rata-rata dan rasio konversi pakan (FCR) adalah kontrol : 3.200 kg/ha, FCR = 2,01; perlakuan aerasi 0,9 kW/ha : 3.570 kg/ha, FCR = 2,75; perlakuan aerasi 1,8 kW/ha : 4.720 kg/ha, FCR = 2,11 dan perlakuan aerasi 3,6 kW/ha : 6.320 kg/ha, FCR = 1,79.
Mevel dan Boyd (1992) melaporkan bahwa ikan lele (Ictalurus punctatus) telah diproduksi di Auburn, Alabama, dalam kolam kontrol dan kolam yang diberi aerasi udara-terdifusi kontinyu pada tingkat 0,9, 1,8 dan 3,6 kiloWatt/hektar. Konsentrasi DO (Dissolved Oxygen = oksigen terlarut) rata-ratanya sering di bawah 3 mg/liter di kolam kontrol dan pada dua perlakuan aerasi rendah (0,9 dan 1,8 kW/ha). Konsentrasi DO rata-rata tidak pernah jatuh di bawah 3 mg/liter pada perlakuan tingkat aerasi yang tinggi (3,6 kW/ha). Aerasi udara-terdifusi pada semua tingkat bisa menghilangkan stratifikasi DO vertikal di kolam dan mengurangi kisaran nilai-nilai DO harian minimum dan maksimum. Konsentrasi klorofil-a, kekeruhan, karbon dioksida, dan total fosfor, pH serta daya pandang Secchi disk tidak berbeda antar perlakuan. Konsentrasi total amonia nitrogen dan nitrit-nitrogen adalah lebih tinggi di kolam yang diaerasi daripada di kolam kontrol. Nilai produksi neto rata-rata dan rasio konversi pakan (FCR) adalah kontrol : 3.200 kg/ha, FCR = 2,01; perlakuan aerasi 0,9 kW/ha : 3.570 kg/ha, FCR = 2,75; perlakuan aerasi 1,8 kW/ha : 4.720 kg/ha, FCR = 2,11 dan perlakuan aerasi 3,6 kW/ha : 6.320 kg/ha, FCR = 1,79.
Pengaruh Aerasi Oksigen Terhadap Kesehatan dan Produksi Ikan
Meade et al. (1991) meneliti pengaruh penambahan udara versus oksigen dalam sistem budidaya yang penggunaan airnya berangkai (air bekas kolam masuk ke kolam berikutnya) terhadap kalitas air dan pertumbuhan ikan, hematologi serta kondisi ginjal. Rangkaian ulangan lima unit budidaya, yang ditebari dengan ikan trout danau Salvelinus namaycush di Wisconsin dan Pennsylvania, telah dilengkapi dengan aerasi atau oksigenasi, kemudian air dan ikannya dipantau selama 2 bulan. Seperti yang diharapkan, konsentrasi amonia dan konduktivitas (daya hantar) air meningkat, sedangkan rata-rata konsentrasi oksigen terlarut (DO), tekanan gas total dan pertumbuhan ikan menurun karena airnya bekas kolam(-kolam) sebelumnya. Ada perbedaan tekanan gas total antara air yang diaerasi dan air yang dioksigenasi, karena efek penyingkiran nitrogen yang ditimbulkan oksigenasi mengakibatkan tekanan gas total menjadi jauh lebih rendah pada akhir rangkaian kolam dibandingkan dengan air pada kolam yang diaerasi. Jadi penggunaan oksigen jauh lebih efektif daripada penggunaan udara untuk mengendalikan nitrogen terlarut dan tekanan gas total. Disimpulkan bahwa penggunaan oksigen, sebagai pengganti udara, untuk mengendalikan oksigen terlarut tidak menyebabkan masalah fisiologis, tetapi juga tidak meningkatkan kesehatan maupun produksi ikan.
Meade et al. (1991) meneliti pengaruh penambahan udara versus oksigen dalam sistem budidaya yang penggunaan airnya berangkai (air bekas kolam masuk ke kolam berikutnya) terhadap kalitas air dan pertumbuhan ikan, hematologi serta kondisi ginjal. Rangkaian ulangan lima unit budidaya, yang ditebari dengan ikan trout danau Salvelinus namaycush di Wisconsin dan Pennsylvania, telah dilengkapi dengan aerasi atau oksigenasi, kemudian air dan ikannya dipantau selama 2 bulan. Seperti yang diharapkan, konsentrasi amonia dan konduktivitas (daya hantar) air meningkat, sedangkan rata-rata konsentrasi oksigen terlarut (DO), tekanan gas total dan pertumbuhan ikan menurun karena airnya bekas kolam(-kolam) sebelumnya. Ada perbedaan tekanan gas total antara air yang diaerasi dan air yang dioksigenasi, karena efek penyingkiran nitrogen yang ditimbulkan oksigenasi mengakibatkan tekanan gas total menjadi jauh lebih rendah pada akhir rangkaian kolam dibandingkan dengan air pada kolam yang diaerasi. Jadi penggunaan oksigen jauh lebih efektif daripada penggunaan udara untuk mengendalikan nitrogen terlarut dan tekanan gas total. Disimpulkan bahwa penggunaan oksigen, sebagai pengganti udara, untuk mengendalikan oksigen terlarut tidak menyebabkan masalah fisiologis, tetapi juga tidak meningkatkan kesehatan maupun produksi ikan.
Pengaruh Aerasi Terhadap Nitrifikasi
Avnimelech et al. (1992) melaporkan bahwa baik aerasi maupun percampuran massa air merupakan paramater penting dalam sistem akuakultur intensif. Penelitian mereka berkaitan dengan pengaruh masing-masing faktor tersebut dan gabungan keduanya terhadap pengubahan nitrogen dan karbon organik oleh bakteri. Metabolisme karbon organik yang paling efisien terjadi bila baik aerasi maupun percampuran massa air dilakukan bersama-sama. Penguraian bahan organik secara intensif juga berlangsung pada kondisi anaerobik terbatas, tetapi tidak pada sistem yang aerasinya terbatas. Aerasi merupakan faktor penting bagi berlangsungnya proses nitrifikasi. Bagaimanapun, proses nitrifikasi ini lebih efisien dan dimulai lebih awal bila dilakukan pengadukan. Selain itu, proses denitrifikasi juga terjadi dalam tangki yang diaerasi namun airnya tidak tercampur, di mana lapisan dasar tangki yang anaerob menyediakan kondisi yang dibutuhkan bagi proses tersebut. Percampuran massa air di kolam ikan meminimkan keberadaan zona anaerob yang tak dikehendaki di kolam dan meminimkan penimbunan amonium di dalam air.
Avnimelech et al. (1992) melaporkan bahwa baik aerasi maupun percampuran massa air merupakan paramater penting dalam sistem akuakultur intensif. Penelitian mereka berkaitan dengan pengaruh masing-masing faktor tersebut dan gabungan keduanya terhadap pengubahan nitrogen dan karbon organik oleh bakteri. Metabolisme karbon organik yang paling efisien terjadi bila baik aerasi maupun percampuran massa air dilakukan bersama-sama. Penguraian bahan organik secara intensif juga berlangsung pada kondisi anaerobik terbatas, tetapi tidak pada sistem yang aerasinya terbatas. Aerasi merupakan faktor penting bagi berlangsungnya proses nitrifikasi. Bagaimanapun, proses nitrifikasi ini lebih efisien dan dimulai lebih awal bila dilakukan pengadukan. Selain itu, proses denitrifikasi juga terjadi dalam tangki yang diaerasi namun airnya tidak tercampur, di mana lapisan dasar tangki yang anaerob menyediakan kondisi yang dibutuhkan bagi proses tersebut. Percampuran massa air di kolam ikan meminimkan keberadaan zona anaerob yang tak dikehendaki di kolam dan meminimkan penimbunan amonium di dalam air.
Keunggulan Metode Aerasi Sistem Suspensi
Lohalaksanadet dan Musig (1998) melaporkan bahwa penggunaan dua sistem aerasi, yaitu sistem aerasi untuk mensuspensi sedimen dan sistem aerasi untuk memindahkan sedimen ke tempat penimbunan di bagian tertentu di dasar kolam menyebabkan peningkatan kekeruhan air kolam sehingga menurunkan jumlah fitoplankton dan klorofil-a bila dibandingkan dengan kolam kontrol. Lebih rendahnya jumlah fitoplankton di kolam yang menggunakan kedua sistem aerasi ini menyebabkan lebih kecilnya fluktuasi harian pH dan konsentrasi oksigen terlarut, lebih sedikitnya penimbunan bahan organik, dan lebih tingginya potensial redoks tanah dasar kolam. Pada sistem suspensi sedimen diamati bahwa airnya lebih keruh serta fluktuasi harian pH dan konsentrasi oksigen terlarut lebih kecil bila dibandingkan dengan penggunaan aerasi untuk memindahkan sedimen ke tempat penimbunan tertentu. Tidak ada perbedaan nyata (P< 0,5) dalam hal tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan rasio konversi pakan pada semua perlakuan. Dengan memperhatikan data kualitas air dan tanah, disimpulkan bahwa sistem suspensi dianggap paling efektif dalam pengelolaan air kolam dan tanah kolam.
Lohalaksanadet dan Musig (1998) melaporkan bahwa penggunaan dua sistem aerasi, yaitu sistem aerasi untuk mensuspensi sedimen dan sistem aerasi untuk memindahkan sedimen ke tempat penimbunan di bagian tertentu di dasar kolam menyebabkan peningkatan kekeruhan air kolam sehingga menurunkan jumlah fitoplankton dan klorofil-a bila dibandingkan dengan kolam kontrol. Lebih rendahnya jumlah fitoplankton di kolam yang menggunakan kedua sistem aerasi ini menyebabkan lebih kecilnya fluktuasi harian pH dan konsentrasi oksigen terlarut, lebih sedikitnya penimbunan bahan organik, dan lebih tingginya potensial redoks tanah dasar kolam. Pada sistem suspensi sedimen diamati bahwa airnya lebih keruh serta fluktuasi harian pH dan konsentrasi oksigen terlarut lebih kecil bila dibandingkan dengan penggunaan aerasi untuk memindahkan sedimen ke tempat penimbunan tertentu. Tidak ada perbedaan nyata (P< 0,5) dalam hal tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan rasio konversi pakan pada semua perlakuan. Dengan memperhatikan data kualitas air dan tanah, disimpulkan bahwa sistem suspensi dianggap paling efektif dalam pengelolaan air kolam dan tanah kolam.
Gabungan Aerasi dan Sirkulasi Air Untuk Memperbaiki Kolam Ikan
Rogers (1989) menyatakan bahwa aerasi dan sirkulasi adalah dua proses yang terpisah, masing-masing sangat mempengaruhi dinamika kolam budidaya. Aerasi atau penambahan oksigen ke air kolam menyediakan kondisi yang cukup aerob untuk mendukung kehidupan akuatik dan memperbaiki kualitas air. Sirkulasi, sebaliknya, tidak secara langsung menambahkan oksigen ke kolam tetapi dapat mempengaruhi aerasi dengan cara mendistribusikan kembali oksigen dan mempengaruhi pemindahan oksigen. Baik aerasi maupun sirkulasi penting untuk mencegah proses penuaan alami tanah dan air kolam. Strartegi manajemen yang efektif harus melibatkan aerasi maupun sirklulasi. Keuntungan sistem seperti ini adalah memperpanjang umur kolam, memperbaiki kualitas air dan tanah kolam, menyeragamkan distribusi suhu dan konsentrasi oksigen terlarut dari permukaan ke dasar kolam, mengurangi lapisan sedimen anoksik dan memperbaiki habitat bagi produksi ikan.
Rogers (1989) menyatakan bahwa aerasi dan sirkulasi adalah dua proses yang terpisah, masing-masing sangat mempengaruhi dinamika kolam budidaya. Aerasi atau penambahan oksigen ke air kolam menyediakan kondisi yang cukup aerob untuk mendukung kehidupan akuatik dan memperbaiki kualitas air. Sirkulasi, sebaliknya, tidak secara langsung menambahkan oksigen ke kolam tetapi dapat mempengaruhi aerasi dengan cara mendistribusikan kembali oksigen dan mempengaruhi pemindahan oksigen. Baik aerasi maupun sirkulasi penting untuk mencegah proses penuaan alami tanah dan air kolam. Strartegi manajemen yang efektif harus melibatkan aerasi maupun sirklulasi. Keuntungan sistem seperti ini adalah memperpanjang umur kolam, memperbaiki kualitas air dan tanah kolam, menyeragamkan distribusi suhu dan konsentrasi oksigen terlarut dari permukaan ke dasar kolam, mengurangi lapisan sedimen anoksik dan memperbaiki habitat bagi produksi ikan.
BIOFLOK
Apa itu BIOFLOC ?
Biofloc
merupakan agregat diatom, makroalga, pelet sisa, eksoskeleton organisme
mati, bakteri, protista dan invertebrata juga mengandung bakteri,
fungi, protozoa dan lain-lain yang berdiameter 0,1-2 mm. Bahan-bahan
organik itu merupakan pakan alami ikan dan udang yang mengandung nutrisi
baik, yang mampu disandingkan dengan pakan alami, sehingga pertumbuhan
akan baik bahkan jumlah pakan yang diberikan bisa diturunkan.(Probiotik)
Menurut Teori Biofloculasi
Biofloc
adalah tehnik pengolahan limbah cair untuk makroagregat yang dihasilkan
dalam sistem lumpur aktif. Lumpur aktif bisa juga diibaratkan sebagai
sup mikroba yang terbentuk dari pemberian aerasi terus menerus pada
biomassa tersuspensi dan mikroorganisme penguraian dalam limbah cair.
Bagaimana terbentuknya BIOFLOC di dalam air?
Proses
ini dimulai dari proses nitrifikasi yang reaksinya adalah amonia plus
oksigen menjadi ion nitrit dan akhirnya nitrat dan air, pada reaksi ini
terdapat campur tangan bakteri oksidasi amonia dan bakteri oksidasi
nitrit, artinya semua proses ini memerlukan oksigen yang cukup tinggi
yaitu 4 ppm pada siang hari dan 6 ppm pada malam hari.
Mikroorganisme
seperti bakteri dengan kemampuann lisis bahan organic memanfaatkan
detritus sebagai makanan. Sel bakteri mensekresi lendir metabolit ,
biopolymer (polisakarida , peptida, dan lipid) atau senyawa kombinasi
dan terakumulasi di sekitar dinding sel serta detritus.
Kesalingtertarikan antar dinding sel bakteri menyebabkan munculnya flog
bakteri. (Aquacultur.blogspot)
Penggunaan
BIOFLOC dalam budidaya ikan lele kita ketahui dengan sifat nafsu makan
yang tinggi dan usus pendek dari ikan lele menyebabkan ikan lele mudah
lapar namun cepat menyebabkan akumulasi kotoran menumpuk. Tehnik Biofloc
pada intinya mereduksi bahan-bahan organik dan senyawa beracun yang
terakumulasi dalam air pemeliharaan ikan. Dengan sistem self-purifikasi
didapat hasil akhir meningkatkan effisiensi pemanfaatan pakan dan
peningkatan kualitas air. Hasilnya adalah :
1. Pakan ikan lele akan lebih effisien
2. Pertumbuhan ikan lele akan rampag artinya selama kegiatan budidaya tidak ada kegiatan penyortiran.
3. Kecepatan pertumbuhan ikan yang lebih optimal dengan masa waktu panen yang lebih singkat.
4. Padat tebar per meter3 yang lebih tinggi kisaran 500 benih-1000 benih/m3.
3. Kecepatan pertumbuhan ikan yang lebih optimal dengan masa waktu panen yang lebih singkat.
4. Padat tebar per meter3 yang lebih tinggi kisaran 500 benih-1000 benih/m3.
5. Ikan sehat dan gesit serta mengurangi penyakit pada ikan.
Menurut Ikhsan Khasani, peneliti Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Sukamandi yang dimuat dalam TROBOS Aqua Edisi-18/15 November-14 Desember 2013. Budidaya ikan lele sistem bioflok yang diamati banyak dibudidayakan para
pembudidaya lele yang tergabung dalam Paguyuban Mina Pantura (Pantai
Utara), di kawasan Pantura Pemalang–Pekalongan, Jawa Tengah. Mereka
melakukan pembesaran lele super intensifdenganaplikasi teknologi
bioflok, manajemen pakan yang baik, pemilihan strain ikan yang tepatdan pemilihan probiotik yang handal. Hasilnya,dengan luas tanah tidak lebih dari 100 m2 mampu diproduksi lele konsumsi sebanyak 4 ton per bulan. Keuntungan kotor mencapai Rp 8–10juta.
Kiat-kiatnya untuk usaha budidaya teknologi Bioflok
Intensifikasi budidaya melalui peningkatan padat tebar benih dan penggunaan pakan berprotein tinggi dilakukan guna meningkatkan produksi benih per satuan luas. Kegiatan tersebut cukup berisiko jika kurang tepat dalam pengelolaannya, karena menghasilkan bahan organik dalam jumlah besar yang memacu peningkatan kadar senyawa toksik seperti amonia dan nitrit, serta perkembangan bakteri patogen. Limbah organik, baik dalam bentuk terlarut (dissolved) maupun padatan (suspended) tersebut juga berpotensi menurunkan daya dukung perairan bagi kehidupan organisme akuatik dan masyarakat jikatidak dikelola dengan baik.
Intensifikasi budidaya melalui peningkatan padat tebar benih dan penggunaan pakan berprotein tinggi dilakukan guna meningkatkan produksi benih per satuan luas. Kegiatan tersebut cukup berisiko jika kurang tepat dalam pengelolaannya, karena menghasilkan bahan organik dalam jumlah besar yang memacu peningkatan kadar senyawa toksik seperti amonia dan nitrit, serta perkembangan bakteri patogen. Limbah organik, baik dalam bentuk terlarut (dissolved) maupun padatan (suspended) tersebut juga berpotensi menurunkan daya dukung perairan bagi kehidupan organisme akuatik dan masyarakat jikatidak dikelola dengan baik.
Limbah
cair akuakultur memiliki kandungan unsur nitrogen terlarut sangat
tinggi, dalam bentuk amonia, nitrit,dan nitrat. Jika dibuang langsung ke
perairan umum atau digunakan kembali ke kolam budidaya bisamenyebabkan
kematian ikan serta eutrofikasi yang menyebabkan gangguan ekosistem.
Di
sisi lain, nutrien yang terkandung tersebut berpotensi sebagai media
bagi pengembangan pakan alami yang bisa menambah nilai ekonomis limbah
tersebut.Selain itu, populasi mikroorganisme yang ada dalam limbah cair
merupakan potensi besar karena bisamenjadi makanan alami bagi sejumlah
spesies ikan budidaya seperti nila, udang vannamei, dan udang galah. Dan
ternyata, lele pun memakan bioflok sehingga kebutuhan pakan
bisaditekan.
Terkait
hal ini beberapa hal yang perlu dipahami mengenai konsep teknologi
bioflok adalah sebagai berikut. 1) Pemberian pakan berprotein tinggi
mengakibatkan peningkatan kadar nitrogen (N) organik, seperti amonia dan
nitrit, karena hanya 20–25% protein pakan yang terkonversi menjadi
protein ikan, 2) amonia dan nitrit toksik bagi ikan sehingga menghambat
pertumbuhan dan menyebabkan kematian, 3) penambahan sumber karbon (C)
organik, dalam bentuk molase (tetes tebu), tepung tapioka, tepung
terigu, meningkatkan rasio C:N diatas 10 sehingga bakteri heterotrof
berkembang, 4) bakteri heterotrof lebih efektif mengkonversi N di air
media menjadi biomassa sel dibandingkan fitoplankton, 5) densitas
bakteri heterotrof yang tinggi membentuk flok “bioflok” yang
bisadimanfaatkan sejumlah spesies ikan sebagai sumber pakan tambahan, 6)
agar sistem bioflok berjalan baik maka suplai oksigen (minimum 5 mg/L)
dan pengadukan harus dilakukan.
Selain
itu, pemilihan jenis bakteri sangat utama terhadap keberhasilan sistem
bioflok, karena tidak semua bakteri mampu membentuk flok. Bakteri
positif—yangselama ini dikenal sebagai probiotik—merupakanpilihan tepat
dalam penerapan budidaya sistem bioflok, satu di antaranya Bacillus subtillis.
Pemilihan
jenis bakteri Mikroba dengan kemampuan remediasi tinggi merupakan kunci
utama keberhasilan penerapan sistem bioflok. Dengan waktu pembelahan
diri yang cepat (generation time 10–12jam) maka populasi bakteri heterotrof akan sangat cepat. Bakteri yang dikenal handal sebagai remediator bahan organik adalah Bacillus sp.
Tanpa mengkultuskan jenis probotik yang dipakan (gambar 4), namun
berdasarkan komposisi bakteri penyusunnya maka sangat logis kalau produk
tersebut efektif digunakan sebagai agensia perombaklimbah organik dalam
sistem bioflok.
Manajemen pakan. Selain
pemilihan jenis pakan yang tepat, ada teknik tertentudalam pengolahan
pakan sebelum digunakan. Yaitu melalui penerapan sistem fermentasi pakan
sehingga nilai kecernaan pakan meningkat.
Fermentasi
dilakukan dengan menambahkan probiotik sebanyak 4 ml/Kg pakan,
dibiarkan selama 2–7hari dalam tempat oksigen terbatas (an aerob). Pada
hari ke-3 fermentasi,ternyata pakan sudah ditumbuhi mikroba sehingga
berwarna keputihan.
Berdasarkan
pengalaman, pakan yang telah difermentasi tersebut memberikan hasil
positif, berupa ikan yang sehat. Kebalikannya pemberian pakan tanpa
difermentasi berakibat pada banyaknya ikan yang luka. Alhasil
terciptalah sistem budidaya lele hemat pakan, karena FCR-nya 0,7 – 0,8.
Untuk
menghemat biaya pakan dilakukan beberapa langkah khusus. Yaitu 1)
penggunaan pakan dengan kadar protein tinggi (28–31) dihentikan dan
diganti dengan pakan dengan kadar protein rendah, 22–24 setelah flok
terbentuk dan 2) pemuasaan sehari tiap minggu setelah flok terbentuk
(kandungan flok 150 mL/L media).
Manajemen
air. Sistem bioflok bukan berarti tanpa ganti air, karena jikadensitas
flok terlalu tinggi berbahaya bagi keseimbangan sistem, khususnya kadar
oksigen terlarut akan sangat rendah, sehingga ikan rawan stres dan
kematian.
Berdasarkan
hasil pengukuran kualitas air pada beberapa bak pemeliharaan ikan lele,
diketahui bahwa sistem tersebut cukup ideal, dengan level pH 8,0 – 8,1;
oksigen terlarut 1,8 mg/L (bagian atas) dan 2,1 mg/L (bagian tengah);
kadar nitrit 0 mg/L, dan kadar nitrat 0 mg/L.
Sumber :
mcmlele.files.wordpress.com/
KELEBIHAN KOLAM BUNDAR
Dalam budidaya lele, baik sangkuriang maupun jenis lele lain, ada
beberapa jenis kolam yang lumrah digunakan. baik kolam terpal, tanah,
beton, dan lain sebaginya. nah dari segi bentuk, kolam yang populer
adalah kolam bulat/bundar dan kolam persegi. berikut kelemahan dan
kelebihan kedua bentuk kolam tersebut.
Kolam Bulat/Bundar (Arsip KLS) |
Kelebihan kolam Bundar/Bulat
- Lebih bagus untuk penerapan tebar padat tinggi, karena apabila ditambah aerasi maka difusi oksigen lebih merata. Pada teknik Bioflok yg membutuhkan pengadukan pun bisa lebih merata
- Apabila dasar kolam dibuat kerucut, kotoran ikan pun akan langsung terpusat di central drain, sehingga manajemen kualitas air pun lebih baik. Atau pada saat sortir ukuran kecil, menguras ikan juga lebih mudah melewati central drain.
- Tren baru, sehingga penerapannya terkesan "sophisticated"
Kekurangan kolam Bundar/Bulat
- Untuk luas lahan yg sama, volume air kolam bundar lebih sedikit dibanding kolam kotak.. Contohnya area 3x3 m, apabila tinggi sama2 1 m maka kolam bundar hanya menampung 7 m kubik, lebih sedikit dibanding kolam kotak yg menampung 9 m kubik..
- Itu baru satu kolam.. kalo aplikasi banyak kolam, kerugian pemanfaatan lahan menjadi lebih besar lagi..Maka untuk tebar padat rendah, lebih menguntungkan kolam kotak
- Harga per m kolam bundar dari terpal lebih mahal dibanding kolam kotak dari terpal. Contohnya kolam bundar diameter 1 m (volume air 0,7 m kubik, harganya sekitar 150-200 rb.. Jauh lebih mahal dibanding harga terpal kotak untuk volume air yg sama)..
- Selain harga kolam terpalnya yg lebih mahal, dibutuhkan minimal rangka besi wiremesh 5 mm yg tidak semua daerah ada.. kalaupun ada, tidak semua bisa beli ecer, harus 1 roll yg harganya bisa 3-4 juta)
- Kolam bundar beton juga lebih mahal dibanding kolam kotak beton untuk volume air efektif yg sama. Apalagi dari bahan fibreglass, jauh lebih mahal lagi
- Membangun banyak kolam bundar dari terpal tidak bisa dgn cara dempet seperti pada kolam kotak.. Pada kolam bundar beton memang bisa, tapi kebutuhan materialnya sama saja dgn membangun kolam terpisah
jual kolam bundar / kolam bulat untuk budidaya
ikan dengan jenis bahan terpal dan terpolin.
kolam ini sudah banyak digunakan pada budidaya
lele sistem bioflok dengan padat tebar sehingga
dapat meningkatkan pendapatan
bagi yang serius order silahkan sms ke no
081289177777
http://www.kaskus.co.id/post/53aac42c32e2e67c278b460f#post53aac42c32e2e67c278b460f
Subscribe to:
Posts (Atom)